Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

WANITA DI ERA GLOBALISASI


          WANITA

Siapa yang punya hak atas wanita?
Dalam fiqih tradisional, gadis adalah milik bapaknya atau seluruh garis keturunan dari pihak bapaknya. Dalam perkawinan, wali seorang gadis adalah ayahnya, kakak atau adik lelaki, atau lelaki lain yang ada dalam garis bapaknya. Setelah berkeluarga kpemilikannya beralih dari ayah kepada suami. 
Kemudian tentang persoalan siapakah yang berhak mempunyai anak, suami atau isteri. Sebagian ulama pengikut madzab Syafi’I dan Hanbali berpendirian bahwa hak punya anak merupakan hak suami isteri. Akan tetapi, menurut sebagian ahli hadits, disamping hak suami dan isteri, mempunyai anak merupakan hak umat (masyarakat). Bahkan menurut ahli al-hadits ini, hak masyarakat dirasa lebih besar dibanding hak suami isteri. Hal ini karena tanggung jawab generasi manusia sesungguhnya tidak hanya dilimpahkan kepada bapak-ibunya, tetapi kepada masyarakat/negara secara umum.  
Apakah wanita tidak punya kebebasan sendiri? Bukankah setiap individu bertanggung jawab secara langsung kepada Tuhan? Saya kira dalam hal ini perlu adanya cara pengaturan kehidupan (syura, ‘adalah, musawah/persamaan), agar ada saling pengertian antara suami dan isteri. Bila isteri punya pendapatan sendiri, Isteri akan memiliki kebebasan yang lebih tinggi untuk membeli barang kebutuhannya sendiri. Ini salah satu kebebasan! Tapi apakah kebebasan seperti ini menjadi tujuan utama isteri? Apakah kebebasan seperti itu bisa menjamin keutuhan keluarga? Maka perlu cara pengaturan kehidupan. 
Coba perhatikan QS (4:34) “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena Tuhan telah melebihkan sebagian mereka atas bagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Terhadap kata qawwamun, semua mufassir baik klasik maupun modern mengartikan sebagai pemimpin, pelindung, dan yang sejenisnya. Meskipun konteks ayat ini menjelaskan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam lingkup domestik (rumah tangga),  sebagian ulama menggeneralisasikannya dalam lingkup yang lebih luas dalam urusan sosial politik (mu’ammalah al madaniyyah). Kalau saya melihat suami adalah pemimpin dalam keluarga, tetapi suami juga harus menjunjung tinggi asas musyawarah dalam mengatasi semua permasalahan melalui dialog mutualistik bersama isteri. Adanya pemimpin dalam keluarga adalah sangat penting, sebagaimana pemimpin dalam segenap aspek kehidupan. 

QS An-Nisa 3: “Dan jika kamu takut tidak dapat berbuat adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita2 lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak2 yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Kalau kita mengingkari eksistensi QS (4:3) berarti kita tidak mau menerima ayat tersebut, dan berarti pula kita tidak percaya kepada kebenaran Q secara keseluruhan. Saya tidak sampai menolak keberadaan ayat tersebut, tetapi pemahaman ayat tersebut tidak dapat dilepaskan dari keberadaan ayat2 yang lain secara keseluruhan. Memang untuk memahami Q perlu tahu juga ilmu nasikh mansukh yang menjelaskan suatu ayat dalam Q yang sudah tidak berlaku lagi status hukumnya karena sudah ada ayat lain yang menghapuskannya. Ilmu nasikh mansukh ini berasal dari Ali bin Abi Thalib. Dalam tafsir Jalalain karya ibn Katsir saya tidak mendapatkan kalau QS (4:3) sudah di-nasikh mansukh. 
Kalau kita bandingkan ayat tersebut dengan ayat-ayat yang lain maka kita menjadi semakin bingung karena ayat ini tidak dikuatkan oleh ayat-ayat yang lain. Contohnya
QS An-Nisa 129: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung2. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri, maka sesungguhnya Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Kedua ayat tersebut saling bertentangan. Apakah itu berarti salah satu ayat harus ada yang salah? Ternyata tidak. Keduanya mengandung unsur kebenaran. Tapi kita tidak dapat langsung menarik hukum dari kedua ayat yang saling bertentangan itu. Karena itu perlu penafsiran. Salah satu penafsiran adalah seperti yang tercantum pada footnote (penjelasan) QS (4:3). Orang lagi2 berselisih ttg adil. Satu pihak yakin kalau laki2 kecuali Nabi tidak dapat berbuat adil karena perasaan tidak dapat dibagi. Nabi SAW juga manusia biasa so beliau pernah ditegur oleh Allah dalam QS Abasa. Pemahaman keadilan yang seperti itu jelas suatu ide yang tidak realistis, dimana kita tidak dapat menerapkannya di dunia, disamping tidak bisa diukur. Memang kita harus tetap bersifat ideal menerapkan spirit dari perkawinan itu, tetapi di dunia ini tidak pada tempatnya membuat aturan yang tidak aplicable. Dalam penjelasan QS An Nisa itu dijelaskan bahwa perlakuan adil itu bukan pada aspek perasaan, tetapi pada aspek duniawi. 

Ada dua jenis ayat2 Al-Qur’an:
1. Ayat2 yang sudah jelas : tidak perlu penafsiran.
a. prinsip2 kebenaran universal
b. nash2 tertentu yang ada hubungannya dg kaidah2 shalat, puasa, haji.
2. Ayat2 yang nampak bertentangan: perlu penafsiran = Ijtihad

QS juga menggariskan hukum2 secara umum, dan Nabi SAW yang membuat spesifikasi apa yang berkenan dg masalah2 ibadah. Di balik itu semua, Rasullah SAW juga tidak mengusik hal-hal yang masih umum lainnya, sehingga dapat ditafsirkan oleh akal sepanjang masa untuk hal-hal yang fungsional. 

Ijtihad: menerjemahkan nash ke dalam bentuk kongkrit tertentu, dan merupakan kekeliruan yang fatal jika dinyatakan bahwa hal ini merupakan pendapat Islam, pemecahan Islami, dll.
1. Ijtihad dalam masalah keduaniawian: ijtihad kolektif 
2. Ijtihad  dalam masalah2 ibadah         : ditutup.
Tidak ada seorang imampun dari imam-imam besar ahli fiqih yang mewajibkan orang lain untuk mengikuti ijtihadnya, bahkan Imam Abu Hanifah mengatakan “Pernyataan kami ini adalah suatu pendapat, barangsiapa yang memiliki pendapat lebih baik darinya, maka hendaklah dia menyampaikan pendapatnya."
Barang siapa yang berijtihad dengan menentukan garis pembatas ttt, lalu mengatakan garis pembatas itu datangnya dari Allah, dan barang siapa saja yang melanggar pembatas itu dikatakan berdosa, maka dia sudah berbuat kebatilan.
Kembali kepada dua ayat yang menggambarkan perpecahan:
QS Al-An’am (6:159): “Sesunguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.”
QS Ar-Rum (30: 31-31):”Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang2 yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap2 golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
Perbedaan dalam masalah fiqiyah, selamanya tidak boleh seorang pun menganggapnya sebagai perbedaan dan perpecahan agama, tetapi hal itu merupakan usaha2 ijtihad dalam rangka memahami nash.
Perpecahan yang dilarang adalah dalam masalah yang berkaitan dengan dua hal:
1. Perbedaan pendapat mengenai akidah
2. masalah2 metafisika.
Karena pembicaraan mengenai masalah itu tidak terjangkau rasio manusia. 
Al-istiwa ‘ala al-‘Arsy?

Wanita dan Pria: Perlu Pengaturan
Baca QS An-Nisa ttg laki-laki diperbolehkan menikah lebih dari 4 tapi kalau tidak dapat berbuat adil ya menikah satu saja. Dari sini kita tahu bahwa pria mempunyai kedudukan yang dominan atas wanita. Apa benar sekarang di era globalisasi ini pria punya daya tawar yang tinggi? Dan karenanya bisa menikahi 4 wanita. Di era globalisasi nanti dengan semakin banyaknya perusahaan asing di Indonesia, semakin banyak bussnissman yang mampu merampas hak pria untuk menikahi 4 wanita. Jangan-jangan banyak pria yang tidak dapat meminang seorang gadis. Sekarang di Indonesia memang masih banyak jumlah wanitanya, apalagi usia wanita lebih lama dari dari pria. Coba kita perhatikan negara China. Di sana jumlah pria lebih banyak dari wanita karena kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah anak satu. Jangankan menikahi 4 wanita, cari satu saja sulitnya bukan main kan? Apakah QS An Nisa bisa mendapatkan justifikasinya di China? 
Jaminan QS An Nisa ini jangan membuat kaum bapak-bapak ini tenang-tenang saja. Kita juga harus menaruh keprihatinan kepada sesama laki yang belum bisa mendapat jodoh, bahkan di zaman modern ini semakin banyak bujangan yang sulit mendapatkan jodoh.  Nasib saya sedikit mujur. Saya cukup senang sudah dapat seorang isteri yang shaleh, cantik, dll. Namun banyak lelaki yang nasibnya lebih mujur dari saya, mereka memiliki beberapa isteri. Mereka ini biasanya pejabat atau kaum bussinesman yang sudah berlebihan uangnya. Wanita yang posisinya lemah secara ekonomi mudah tergiur daya pikat pria yang punya kantong tebal. Bussnisman, pejabat, dan white collar menjadi idola para wanita. Mereka menjadi begitu tampan dimata para wanita. Ngak tahu tampannya sungguhan atau tidak. Kalau memang benar2 tampan, tentu mereka sudah cukup tua bila dibandingkan dengan bujangan yang sedang kesulitan mencari jodoh itu. Nasib para bujangan ini semakin menyedihkan di era globalisasi, karena bujangan ini harus bersaing dengan kaum bussnissman yang datang dari luar negeri. Bussnisman ini mempunyai daya tarik khusus. Memang sebagian wanita karena pemikirannya yang liar, tidak Islami, menilai terlalu tinggi pria bule. Tentu penilaian ini didasarkan pada faktor kantong tebal, yang kemudian menciptakan berbagai image yang positif tentang pria bule seperti perkasa dll. 
Memang pemikiran yang materialistik pada wanita bisa mengancam seorang lelaki yang shaleh tidak dapat meminang seorang gadis, jangankan menikahi 4 wanita sebagaimana yang dijamin dalam QS An-Nisa di atas. Dengan demikian pendidikan yang Islami sangat penting bagi wanita. Ini bukan hanya kewajiban para kaum wanita, tetapi juga kaum pria. Dengan tingkat pendidikan Islami yang tinggi para wanita ini tidak akan mudah tergiur oleh image pria bule yang hebat dan perkasa. Wanita yang tidak materialis ini akan memilih pria shaleh, dan andaikata mereka ini menikah dengan pria bule maka mereka akan tetap pada Islam. 
Tingkat pendidikan Islam yang tinggi bagi pria juga sangat penting agar mereka tidak menyalahgunakan kedudukan yang dominan dalam QS An Nisa di atas. Mereka menikah bukan untuk memenuhi kebutuhan biologis belaka tetapi didasarkan pada cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), dengan demikian mereka menikah untuk selamanya. Kalau mereka menikahi gadis muda, mereka akan mengembangkan kemampuannya agar menjadi lebih maju. Seperti Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah pada usia 9 tahun. Namun Aisyah diperlakukan dengan baik sehingga ia menjadi cerdik dan bisa menjadi seorang pemimpin. Memang dalam fiqih, syarat wanita bisa dinikahi kalau sudah tamyiz (pintar/dewasa). Sekarang syarat wanita boleh menikah di Indonesia menurut Orde Baru adalah 20 tahun. Tapi kalau kita perhatikan di daerah-daerah banyak sekali terjadi penyimpangan. Seolah aturan 20 tahun itu adalah suatu hukum yang tidak boleh dilanggar, padahal masalah yang jauh lebih penting adalah bagaimana pemerintah memberi pendidikan yang lebih baik bagi kaum wanita sehingga mereka dapat menentukan sendiri usia perkawinan; pemerintah tidak perlu campur tangan membatasi usia perkawinan. Memang pemerintah perlu membuat peraturan bagi mereka yang ingin menikah lagi.

Rukun Iman-Rukun Islam-Rukun Sosial
Bila bicara agama tidak dapat dilepaskan dari masalah teologi. Tapi teologi tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, karena teori justru berkaitan dengan dasar-dasar kehidupan. Dari sudut teologi, terdapat dua komponen utama dalam pandangan Islam mengenai pengaturan masyarakat, yaitu:
1. Watak kehidupan
2. Cara penggunaan kekuasaan 
Watak kehidupan Islam sebenarnya berintikan tiga prinsip; musawah (prinsip persamaan), ‘adalah (prinsip keadilan), dan syura (prinsip musyawarah/demokrasi). Segala kegiatan mestilah bersendikan ketiga prinsip ini yang diramu sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan yang dihadapi. Karena itu ketika bicara demokrasi selalu dikaitkan dengan prinsip kadilan dan persamaan. Pembicaraan demokrasi dipandang sebagai bentuk dari watak kehidupan, dan dipandang sebagai sebuah sistem yang paling bisa menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Sistem kehidupan yang demokratis itu merupakan suatu sarana yang memungkinkan terjadinya interaksi dialektis antara dua kecenderungan yang ekstrim. 
Sedangkan cara penggunaan/pengaturan kekuasaan tidak akan dibahas di sini.
Kita perlu merumuskan teologi sosial. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 177 menunjukkan bahwa dari semula Al-Qur’an telah memisahkan dua porsi keimanan kita (Rukun Iman dan Rukun Islam) dengan suatu jembatan yang berupa kesadaran yang mesti diputuskan statusnya. Keyakinan yang sangat bersifat pribadi tercantum dalam Rukun Iman, sedangkan dimensi sosialnya tercantum dalam Rukun Islam. Pada dimensi individu, ukuran keimanan bersifat sangat pribadi dan merupakan urusan seseorang berhubungan dengan Allah sendiri. Sedangkan pada dimensi sosialnya, Rukun Islam adalah syahadah yang mestinya sangat pribadi yaitu iman kepada Allah, berwawasan sosial karena pengucapannya sering harus dilakukan di muka orang banyak dan dipakai dalam persaksian dan sumpah. Begitu juga tentang Rukun Islam yang lain. Shalat, apalagi berjamaah, berfungsi mencegah perbuatan keji dan munkar, yang berarti mengandung orientasi menjaga keterlibatan masyarakat. Sementara itu, zakat telah jelas sebagai ibadah sosial dan ibadah haji adalah saat berkumpulnya kaum muslimin dari seluruh penjuru dengan berbaju ihram yang sama tanpa memandang tinggi dan rendah.
Persoalannya kini adalah bagaimana dimensi pribadi ini bisa diterjemahkan secara sosial, sebab di dalam iman ternyata adalah mungkin untuk menjadi mukmin yang baik dan sekaligus menjadi makhluk asosial. Sebaliknya bisa terbentuk pula sikap hidup yang begitu sosial tetapi tanpa keimanan. Usaha menjembatani kedua bentuk keragamaan yang ekstrim ini adalah sebuah keharusan yang ditunjuk oleh ayat tadi. Ayat ini menghubungkan Rukun Iman dan Rukun Islam dengan “rukun sosial”, yaitu perhatian yang cukup terhadap dana untuk membela kaum lemah. Akan tetapi, secara epistemologis, “rukun sosial” yang ada ditengah itu belum pernah dirumuskan dan disepakati sebagai soal teologi, melainkan dianggap sebagai soal politik. Biasanya “rukun sosial” hanya dimasukkan ke dalam “Bab Jihad”, di mana status jihad itu sendiri hanya berhukum fardhu kifayah yang cukup dilakukan setahun sekali.
Dalam pandangan Gus Dur, Rukun Sosial mempunyai dimensi jihad. Dia menyayangkan masih banyak yang salah memahami kata-kata jihad. Jihad selalu dikonotasikan dengan perang dalam arti fisik. Jihad dalam pengertian perang suci hanya mendapat justifikasi bila kita diserang. Setelah perang selesai maka ada jihad yang lebih besar lagi. Dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW setelah umat Islam memenangkan perang Uhud bahwa kita baru pulang dari jihad kecil menuju jihad besar. Lalu para sahabat bertanya apa yang dimaksud dengan jihad besar itu. Nabi menjawab yang dimaksud jihad besar adalah perang melawan hawa nafsu. Memang ada kecenderungan sebagian orang untuk menekankan jihad, padahal kita tahu bahwa yang menjadi pilar agama Islam adalah Rukun Iman dan Rukun Islam. Kalau memang jihad merupakan pilar dari agama tentu kita akan mendapatkan ayat-ayat jihad ketika Nabi Muhammad SAW berperang melawan kelompok Kristen dan Yahudi yang membangkang Konstitusi Madinah. Namun kita tidak mendapatkan ayat-ayat jihad tersebut. 

Catatan:
Wanita lebih Rendah
“Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki2”. Hal ini dapat dijadikan justifikasi bagi klaim bahwa wanita lebih rendah dari laki2. Karena itu laki2 disarankan bersikap hati2 memperlakukan wanita karena wanita mempunyai sifat seperti tulang rusuk yang mudah patah. Kalau kita cermati maka kalimat tersebut bukanlah dari ayat Qur’an tapi dari hadits yang kesahihannya diragukan. Dapat dibaca pada penjelasan QS Al-Baqarah. Pandangan wanita diciptakan dari tulang rusuk laki2 adalah diambil dari pandangan orang Yahudi.
QS (4:34) “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena Tuhan telah melebihkan sebagian mereka atas bagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
“Perempuan2 (isteri2) yang kamu khawatirkan nusyuz [ketidaktaatan/kedurhakaan], maka berilah nasihat yang baik dan biarkan mereka di tempat tidur dan pukullah. Tetapi jika kemudian mereka telah menaatimu, maka janganlah amu mencari-cari jalan (untuk melakukan kedzaliman terhadap mereka). 
QS (2:223) bahwa perempuan sebagai ladang tempat laki2 menumpahkan hasrat seksualnya untuk kemudian beranak pinak.
‘Uqud Al-Lujjani, Nawawi Al-Bantani: “Seandainya seorang isteri menjadikan seluruh waktu malamnya untuk beribadah dan siangnya selalu berpuasa, sementara suaminya mengajak dia tidur bersama dan dia terlambat sebentar saja memenuhi panggilannya, maka kelak di hari kiamat dia akan dikumpulkan bersama setan di neraka yang paling bawah”.
Banyak juga hadits yang senada dengan ayat tersebut. Beberapa penafsir hadits mencoba memberikan penjelasan mengenai konteks hadits ini. Imam Muhyi Al-Din Al-Nawawi (631-676H/1233-1277M), komentator Shahih Muslim dan Musthafa Muhammad Imarah, editor Al-Jami’ Al-Shaghir, memberi catatan ttg nusyuz: apabila ada kesengajaan melakukannya atau tanpa ada alasan yang dibenarkan agama (syar’i). 
Rasulullah SAW tidak pernah melakukan kekerasan, juga mengatakan “Jangan kamu memukul kaum perempuan dan jangan bertindak kasar terhadapnya.” Pada saat yang lain beliau juga mengatakan “Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku. Tidak menghormati kaum perempuan, kecuali orang yang terhormat, dan tidak melecehkan kaum perempuan kecuali orang yang tidak bermoral”.

Wanita n Laki Setara
Konteks pewahyuan QS (4:3): Ayat di atas diwahyukan setelah terjadinya Perang Uhud pada saat belasan Muslim laki-laki tewas, meninggalkan isteri dan anak yatim dalam suatu masyarakat yang tidak jelas perolehan kebutuhan hidupnya, baik dari keluarga maupun dari masyarakat. Dengan mengizinkan kaum laki-laki untuk mempersunting janda-janda yang ditinggalkan suaminya itu, ayat ini memberikan jalan keluar bagi persoalan tersebut. 
Q sesungguhnya menyinggung perempuan sebagai mitra laki-laki, sebagai orang yang sama2 bertanggung jawab secara setara atas perbuatannya di depan Tuhan, baik secara spiritual maupun sosial.
QS Al-Hujurat 49:13 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.”
Dalam QS (49:13) juga dijelaskan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa. 
Allah juga mensejajarkan kedudukan laki2 dan perempuan. Ini dimulai dari konsep penciptaan. Dalam Islam, lelaki dan perempuan diciptakan dari “bahan baku” yang sama (min nafsin wahidatin). 
Dengan santun Islam juga meletakkan perempuan sebagai pihak yang harus dihormati, dilindungi, terutama tatkala dia sedang menjalani fungsi reproduksinya seperti haid dan hamil (QS Luqman 31:14 dan Al-Ahqaf 46:15).
Q mengisaratkan kemuliaan perempuan (QS 2;241, 65:6-7), laki2 cenderung mengesampingkan isterinya tanpa mempertimbangkan tata susila dan memberi perhatian terhadap kesejahteraan anak2nya.

Imam Abu Hanifah dengan ijtihadnya memberikan hak kepada seorang wanita untuk melaksanakan akad nikahnya sendiri dan para mujtahid lainnya berpendapat sebaliknya. Beliau juga memberikan hak kepada seorang wanita untuk menceraikan suaminya dan bagi seorang hakim harus menetapkan perceraian itu, demikian ijtihadnya. 

Keluarga Islami
- Kegagalan pemikiran positif. 
- Perlunya pemikiran agama

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar